Kisah WNI Puasa di Australia, Kangen Kumandang Azan hingga Tunda Mudik Akibat Corona

Memasuki bulan Ramadhan, seluruh umat Islam di dunia akan berpuasa 30 hari lamanya. Namun, setiap negara memiliki waktu puasa yang berbeda tergantung lokasi dan waktu shalatnya.

Indonesia sendiri memiliki waktu puasa setiap harinya 13 jam. Bagaimana dengan negara lainnya?

foto : kompas

Dunia mencatat waktu terlama puasa berada di negara kawasan utara atau Skandinavia seperti Islandia, Finlandia, Norwegia dan lainnya. Sementara untuk negara paling singkat waktu puasanya yaitu Chili, Australia, Selandia Baru, dan lainnya.

Salah satu negara tetangga Indonesia yaitu Australia mengalami waktu puasa yang lebih cepat sekitar dua jam, yaitu kurang lebih 11 jam.

Seorang Warga Negara Indonesia (WNI) di Australia, Andi Reni Delilah, berbagi cerita dengan Kompas.com terkait pengalamannya berpuasa di Australia.

“Untuk lama puasanya cuma beda sedikit dari Indonesia. Tahun ini puasa 12 jam, awal-awal 12 jam 30 menit, tapi nanti mendekati lebaran menjadi 11 jam 40 menit,” kata Delilah.

Ia mengaku puasa kali ini merupakan tahun ketiganya berpuasa di Australia. Menurutnya, puasa tahun ini terbilang lebih lama dari biasanya, karena Australia masih dalam musim gugur.

“Dua tahun lalu sih “diskon” puasanya enak banget, karena sudah masuk winter atau musim dingin. Sekarang masih autumn jadi diskonnya tipis-tipis,” ujarnya.

Bagi dirinya, puasa di Australia sungguh berbeda dengan Tanah Air, terlebih di saat pandemi virus corona.

foto : yahoonews

Hal yang membuat berbeda adalah tidak adanya kumandang azan di tempatnya. Alhasil, ia bahkan sampai memasang kumandang azan sendiri yang diputar melalui Youtube.

“Saya kan engga tinggal di daerah yang mayoritas muslim, jadi benar-benar engga pernah dengar azan,” kata Delilah.

“Kadang-kadang ya masang azan sendiri dari Youtube, kangen tarawih ramai-ramai juga, karena masjid paling dekat dari rumah juga jauh,” jelasnya.

Tambahnya, momen mudik Lebaran yang sudah menjadi tradisi di Indonesia pun juga dirindukan.

Namun, Delilah mengaku tak biasa mudik di pertengahan tahun seperti lebaran tahun ini. Biasanya, ia mudik ke Tanah Air pada bulan Desember atau akhir tahun.

“Saya sendiri biasanya mudik Desember. Selain karena keluarga besar kumpul-kumpulnya pas Desember, kantor di sini shut down periode atau libur dua minggu,” kata Delilah.

“Tapi karena mudik selalu Desember, jadi kangen banget puasa atau lebaran di Indonesia, pergi cari kolak sore-sore, buru-buru makan biar engga telah tarawih di masjid,” kenangnya.

Suasana Ramadhan yang berbeda juga ditambah lagi dengan wabah virus corona. Delilah menjelaskan, jika Ramadhan sebelumnya, ia bersama temannya terbiasa pergi ke toko Asian atau Indonesia untuk menyetok bahan-bahan minuman khas Ramadhan seperti sirup Marjan hingga bubuk cincau.

Namun, tahun ini ia berbelanja bahan makanan dan minuman tidak bersama teman-temannya lantaran social distancing untuk cegah penyebaran virus.

Hal lain yang membedakan yakni, tahun-tahun sebelumnya pada April-Mei, Sydney selalu punya acara atau festival menarik, salah satunya Vivid Sydney.

“Vivid Sydney itu seperti festival lampu gitu, jadi banyak wilayah di Sydney dihias pakai lampu yang dibentuk-bentuk sesuai tema, atau lampu ditembak/diproyeksikan ke gedung-gedung di tengah kota,” terangnya.

Tahun lalu, Vivid Sydney berlangsung kala bulan Ramadhan. Alhasil, ia bersama teman-teman terbiasa berkeliling kota melihat festival itu, selepas buka bersama di restoran kota.

foto : linetoday

“Ya tahun ini jelas, engga ada bukber, jadi engga bisa ke festival itu. Nanti pas lebaran juga katanya engga akan ada open house di KJRI atau komunitas. Sedih aja sih,” lanjutnya.

Tunda mudik

WNI lain yang tinggal di Australia, Farraz Theda, mengaku tidak begitu merasakan hal berbeda ketika berpuasa di sana. Farraz tinggal tepatnya di kota Melbourne.

Alasannya adalah karena ia tinggal bersama dengan teman-temannya yang sama-sama dari Indonesia.

“Hampir setahun tinggal di Australia, ini puasa pertama sih kebetulan. Di sini karena kebetulan serumah sama orang-orang Indonesia juga jadi masih berasa sih suasana puasanya,” kata Farraz saat dihubungi Kompas.com, Senin (4/5/2020).

Namun, sama seperti Delilah, ia merindukan kumandang azan seperti di Indonesia. Hasilnya, ia mengobati rasa rindu suara azan dengan mendengarkannya melalui gadget.

Momen Ramadhan di Australia yang pertama bagi Farraz, juga menjadi suatu hal yang baru terlebih selama masa pandemi.

Selain tidak bisa ibadah di masjid karena pemerintah telah menutup tempat ibadah sejak pertengahan Maret guna mencegah virus corona, ia juga mengaku hanya lebih banyak di rumah, termasuk dalam menempuh pendidikannya.

“Saya kuliah di University of Melbourne. Nah sekarang kuliah semuanya sudah online, jadi sehari-hari ya di rumah saja. Sebenarnya malah enak sih, karena jadi engga berasa puasanya,” ujarnya sembari tertawa.

Lanjutnya, Australia juga sedang memasuki musim dingin yang membuat ibadah puasa tidak begitu terasa melelahkan.

Sementara itu, kata dia, Pemerintah Australia tidak menerapkan kebijakan lockdown namun tetap memberlakukan social distancing yang ketat.

Menurut informasinya, untuk di Melbourne sendiri maksimal kegiatan di luar rumah hanya boleh dua orang.

Wabah virus corona juga membuat Farraz menunda untuk mudik ke Tanah Air lantaran close border yang diterapkan Australia.

“Tahun lalu sih rencananya pas winter break sekitar Juni sampai Agustus mau pulang, tapi karena pandemi, mau enggak mau tertunda dulu,” kata Farraz.

“Soalnya kan Australia close border ya, jadi kalau mau pulang ke Indonesia belum tentu bisa balik lagi ke sini. Takutnya jadi engga bisa lanjut kuliah semester depan,” terangnya.

Sumber : Kompas

Loading

You cannot copy content of this page